FIB - Salah seorang mahasiswa Jurusan Sastra Inggris FIB Unand yang bernama Mita Handayani mengikuti kegiatan Diskusi Publik dengan tema “Jalan Tengah Indonesia Untuk Peradaban Dunia” oleh Prof. Dr. Hm. Din Syamsuddin, M.A. (Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia) pada tanggal 18 September 2019 bertempat di Marienpoelstraat 67, 2334 CX Leiden.

Tempat berlangsungnya diskusi publik itu merupakan rumah salah seorang mahasiswa asal Indonesia yang sedang ,melanjutkan studi S-3 nya di Universitas Leiden yakni Ade Jaya Suryani, M.A. Mahasiswa Indonesia lain yang juga turut berpartisipasi dalam diskusi publik itu di antaranya: Dr. Yanwar Pribadi, M. Latif Fauzi, M.A., Drs. Siswa Santoso, Ahmad Karim, M.A., Syahril Sidik, M.A., Reni Budi S.H., M.Kn., Nur Ismah, M.A., Ayu Swaningrum, M.Si., Irlan Rum, M.A., Tito Bramantyo Aji, S.H., Dwini Ridhala, S.H., Dian Armanda, M.Si., dan Yance. Mereka berasal dari universitas berbeda yang ada di Belanda. Diskusi publik itu dimoderatori oleh Syahril, M.A., mahasiswa asal Indonesia yang juga sedang melanjutkan S-3 di Universitas Leiden. 

Prof. Dr. Hm. Din Syamsuddin, M.A. mengatakan bahwa dunia pada saat sekarang ini, terutama sejak abad ke 21, sering disebut sebagai The World of Disorder (dunia yang tak teratur) dan The World of Uncertainty (dunia yang tidak pasti).  Di sisi lain, dia juga menyampaikan bahwa seorang Environmentalist (ahli lingkungan) asal Australia juga menyebutkan bahwa dunia pada saat sekarang ini sebagai Great Shift yang berarti pergeseran besar dalam negara maju.

Istilah The Word of Uncertainty katanya telah menjadi pengamatan penting oleh World Chinese Economic Forum yang sudah berlangsung selama 20 tahun.

“Insyaallah Bulan Oktober tahun ini, World Chinese Economic Forum akan kembali mengadakan forum di Makau. Mereka akan mengangkat sebuah assessment dunia mengenai gangguan yang mengalami ketidakpastian,” paparnya.

Lebih lanjut, Prof. Dr. Hm. Din Syamsuddin, M.A.  menjelaskan bahwa tata peradaban serius yang dihadapi sekarang adalah akibat adanya Accumulative Global Damages (kerusakan-kerusakan global yang bersifat akumulatif) dan nanti akan dikaitkan dengan World System (sistem dunia).

“Sebenarnya, The World System itu berpangkal pada Liberalism. Liberal Humanism (Humanisme Liberal,) eksistensialisme, dan liberalisme ada di dalam The World System, sehingga itulah yang mewadahi dan mendorong liberalisasi politik, ekonomi, dan budaya yang ada di dunia. Bahkan pasca perang dingin (The Post-Cold War) muncul teori-teori demokrasi sebagai the best form of human governance yang merupakan  paradigma politik dan demokrasi liberal serta global capitalism yang  telah merajalela tidak hanya di kota-kota besar, tapi juga di kota-kota kecil. Sehingga, seorang penulis buku yang berjudul The World is Flat dari New York pernah mengatakan bahwa ketika dua negara yang sama-sama punya McDonald di negaranya, maka negara itu tidak akan berperang karena sudah sama-sama mengadopsi kapitalisme global. Akan tetapi, statement ini tentu juga dapat dikritisi kembali,” kata pria yang akrab disapa Pak Din itu.

“Nah, sekarang ini berdasarkan pada beberapa pengamatan tadi tentang dunia yang rusak, tak menentu, tak teratur, dan kerusakan akumulatif, makanya muncul keinginan-keinginan baru untuk mengembangkan The New World Order,” tambahnya.

Prof. Dr. Hm. Din Syamsuddin, M.A. menjelaskan bahwa yang ingin mengajukan antitesa terhadap The New World Order itu adalah Mahatir Muhammad ketika dia menjadi perdana menteri. Mahatir Muhammad ungkapnya mengadakan konferensi besar yang membicarakan tentang kemungkinan pada tata dunia baru sebagai pengganti dari tata dunia baru yang merusak. Namun, setelah sekian waktu dan dasawarsa, tidak terjadi  perubahan pada tata dunia baru yang merusak itu.

“Akhirnya Re-Interaction Consult yang mengkritik atau menyimpulkan penyebab tata dunia baru yang merusak itu yaitu adanya liberalism dan human freedom.  Terutama dengan adanya Universal Declaration of Human Right yang meletakkan terlalu banyak right (hak) Tapi kurang pada kewajiban apalagi pada tanggung jawab. Maka sebagai solusinya mereka sudah lama sekali mengajukan ke PBB sebuah draft untuk adanya Universal Declaration of Human Responsibility. Ya,  cuma gak menentu nasibnya. Finalisasi draft itu diadakan di Jakarta, di Habibie Center tepatnya. Waktu itu lembaga-lembaga nasional juga diajak untuk menjadi pendengar pada rapat Re-Interaction Consult di Jakarta dan diizinkan juga berbicara serta memberi respond,” tuturnya.

Menurut Prof. Dr. Hm. Din Syamsuddin, M.A., Indonesia sebenarnya mempunyai national wisdom dan khazanah yang kuat sekali. Namun barangkali belum disadari dan kurang banyaknya studi yang mencoba melirik tentang national wisdom dan khazanah yang ada di Indonesia.

“Ternyata, derajat stabilitas Indonesia yang relatif ada walaupun agak bertentangan, tapi secara umum itu dinilai bagus baik itu harmoni, kerukunan umat antar beragama, maupun antar etnik. Tidak bisa dibayangkan bagaimana pluralitas Indonesia berdasarkan agama, etnik, dan kemajemukan dalam landscape yang kepulauan. Hal itu bukanlah hal yang mudah,” ujarnya.  

Prof. Dr. Hm. Din Syamsuddin, M.A., menjelasakan bahwa Dasar Negara Indonesia yakni Pancasila merupakan Dasar Negara yang menunjukkan bahwa Negara Indonesia adalah negara yang berada di ‘tengah’. Artinya, ada titik keseimbangan dan titik temu di antara masing-masing nilai yang terkandung dalam Pancasila dalam berbangsa dan bernegara.

Reporter: Lusi Andriani, Editor: Ayendi, Admin: Tri Eka Wira

Alumni