FIB—Jurusan Sastra Daerah Minangkabau bekerja sama dengan Minangkabau Corner mempersembahkan acara peluncuran dan bedah buku "Perjalanan Panjang Musik Minang Modern" karya Dr. Agusli Taher. Acara yang diadakan di Ruang Seminar Fakultas Ilmu Budaya ini dihadiri oleh pelaku musik Minang, penikmat musik Minang, sastrawan, budayawan, jurnalis, dan akademisi.
Dalam acara ini, dihadirkan tiga pembedah buku, yaitu Dr. Suryadi Sunuri (Universitas Leiden), Dr. Ivan Adilla (Jurusan Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas), dan Eka Meigalia, S.S., M.Hum. (Jurusan Sastra Daerah Minangkabau Universitas Andalas). Ketiga pemateri mengupas isi buku dan keterkaitan musik Minang modern dengan masyarakat Minang sejak dulu sampai hari ini.
Dr. Suryadi menyatakan bahwa isi buku Dr. Agusli Taher mengungkapkan napak tilas musik Minang modern, khususnya gamat. "Informasi lengkap mengenai pencipta dan isu-isu terkait pencipta musik modern, seperti HAKI, pembajakan, musik Minang modern eksis dalam berbagai tekanan, baik dalam Minang sendiri maupun di luar Minang, terungkap dalam buku ini.”
Bagi Dr. Suryadi, buku Dr. Agusli Taher menjadi sumbangan besar dalam mengungkap perjalanan musik Minang dari kalangan praktisi. Baginya, sulit menulis profil tokoh musik Minang itu sendiri, baik pencipta lagu, penyanyi, atau musisi, serta orang-orang yang terlibat. Namun, Dr. Agulis Taher berhasil mengungkapan. Apalagi, dalam buku tersebut, diungkapkan Dr. Agusli Taher bahwa industri rekaman menjadi ruh atau hal yang paling penting.
“Saya setuju dengan Pak Agus bahwa industri rekaman di Sumatera Barat menjadi ruh atau hal yang paling penting setelah Jakarta. Kota Padang dan beberapa kota lain menjadi pusat rekaman di sini. Ini aset kita untuk menjadi perhatian bagi pemerintah karena Kota Padang pada waktu itu merupakan kota yang memiliki giro musik yang bermain di rumah bola. Kota Padang berperan sebagai bandar yang memiliki Urbaningrum Culture pada masa itu,” ungkap Dosen Universitas Leiden ini.
Meskipun demikian, menurut Dr. Agusli Taher, masih banyak lagi informasi mengenai tokoh musik Minang yang harus digali. Baginya, isi buku Dr. Agusli Taher dapat dilanjutkan, khususnya mengenai informasi tahun ketika lagu itu direkam, seperti rekaman Tanaman Record. Tak hanya itu, sampai hari ini, secara akademik internasional, Dr. Suryadi menyatakan bahwa belum banyak penelitian tentang musik Minang itu sendiri. Oleh karena itu, buku Dr. Agusli Taher ini sangat penting dalam menambah bibliografi musik Minang, baik untuk kalangan akademik maupun untuk masyarakat Minangkabau.
“Saya berterima kasih kepada Pak Agus Taher karena telah menerbitkan buku. Kelebihan buku ini karena ditulis sendiri oleh praktisi musik Minang itu sendiri. Ada hal-hal lain dalam sumber yang mampu dikaji oleh peneliti, namun Pak Agus sebagai praktisi lebih mampu menyajikan berbagai hal terkait kompleksitas musik Minang itu sendiri. Namun, hendaknya buku ini menjadi motivasi para praktisi lain untuk mencatat sesuatu dalam manuskrip karena catatan tersebut suatu saat akan bermanfaat bagi para akademisi,” jelasnya.
Sementara itu, Dr. Ivan Adila menyatakan bahwa buku Dr. Agusli Taher merupakan penulisan biografi lagu. “Buku layaknya harta terpendam untuk dinikmati. Buku ini akan menjadi bukti yang penting dalam sejarah musik minang modern. Apalagi, pencipta buku tak lain adalah orang yang bergelut langsung dalam dunia musik, serta langsung berbicara dan berdialog dengan pemusiknya,” jelas Dr. Ivan Adilla.
Hanya saja, menurut Dr. Ivan Adilla, dalam institusi lembaga pendidikan, terdapat banyak sekali musisi lahir. Namun, mengapa musik Minang tidak hadir dari institusi itu sendiri? “Sebagai contoh, Pak Agus Taher dengan latar belakang berasal dari Fakultas Pertanian,” ujar Dr. Ivan Adilla.
(Humas FIB: Dini Alvionita, Ria Febrina, dan Gading Rahmadi)