FIB—Awal tahun 2017, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas kembali menggelar kuliah umum. Bertempat di Ruang Sidang FIB Unand, Prof. Dr. Tsuyoshi Kato memaparkan “Sistem Matrilineal: Suatu Perbandingan dengan Sumatera Barat, Rantau Kuantan, dan Negeri Sembilan”.
Kuliah umum yang dimoderatori oleh Maiza Elfira, Dosen Jurusan Sejarah ini mengulas perbedaan dan persamaan sistem matrilineal di tiga daerah, yaitu Sumatera Barat, Kuantan, dan Negeri Sembilan. Menuruf Prof. Tsuyoshi Kato, merantau yang menjadi adat kebiasaan masyarakat Minangkabau mempengaruhi tumbuhnya adat matrilineal di daerah rantau. Melalui dua pola merantau: mencancang-malateh, manambang-manaruko dan menutut ilmu atau berdagang, menyebabkan orang Minangkabau yang merantau ke daerah lain tersebut ikut membawa sistem matrilineal yang dimilikinya.
Prof. Dr. Tsuyoshi Kato meneliti arus merantau ke arah barat pada masa dahulu yang mengikuti aliran sungai yang berasal dari pergunungan di Sumatera Barat. Di antaranya Sungai Roka, kampar, Kuantan-indragiri, dan Batang Hari yang mengalir ke sebelah Bukit Barisan dan bermuara di selat Malaka. Arus merantau tersebut menyebabkan sampai sekarang bisa dilihat “kantong adat Mianng” di daerah-daerah hulu sungai tersebut.
Lebih lanjut, Prof. Dr. Tsuyoshi Kato menyatakan bahwa dari empat sungai tersebut, Kuantan-Indragiri menjadi bagian terpenting dalam sejarah. Nagari-nagari seperti Pagaruyung, Buo, Sumpur Kudus, Sungai Tarab, Saruaso, dan Kumanis yang terletak di tepi Batang Ombilin, serta Sinamar atau Unggan yang nanti bergabung di hilirnya dengan Batang Kuantan-Indragiri ikut menjadi bagian dalam sejarah gelombang migrasi yang berterusan selama beberapa abad.
Sejauh ini, Prof. Dr. Tsuyoshi Kato menyatakan bahwa pengamat sistem matrilineal jarang memperhatikan “kantong adat Minang” secara umum, khususnya Kuantan, yaitu Rantau Kuantan Oso Duapuluh yang menjadi koridor perpindahan dan tempat asal dalam sejarah perantauan orang Minang dari Sumatera ke Negeri Sembilan.
Penelitian Prof. Dr. Tsuyoshi Kato mengungkapkan hubungan sistem matrilineal yang dimiliki oleh Sumatera Barat, Rantau Kuantan, dan Negeri Sembilan melalui arus merantau orang Minang. Menurut Prof. Dr. Tsuyoshi Kato, ada penolakan identitas Minangkabau oleh penduduk Kuantan. Hal ini disebabkan oleh salah satunya oleh otonomi daerah yang menyebabkan mereka mengganti atau mencari identitas baru. Akibatnya, menjadi sulit untuk menelusuri asal usul sistem matrilineal yang berkembang di daerah rantau.
“Suku di sana berbeda dengan suku yang ada di Sumatera Barat. Di Negeri Sembilan misalnya, terdapat suku Tanah Datar, sementara di negeri asal Minangkabau, tidak ada suku Tanah Datar,” jelas Prof. Dr. Tsuyoshi Kato.
Menurut Prof. Dr. Tsuyoshi Kato, hal tersebut disebabkan oleh faktor asal perantau Minang yang datang ke daerah rantau. Di daerah rantau, mereka cenderung mengubah identitas atau bahkan mengganti identitas baru. Sejak gelombang I orang Minang merantau ke daerah sana, yaitu tepatnya awal abad ke-16, sudah dipastikan banyak perubahan yang terjadi pada masa 400 tahun tersebut.
Hal tersebutlah yang menjadi kendala menurut Prof. Dr. Tsuyoshi Kato ketika Ibu Tari dari Balai Pelestarian Nilai Tradisi dan Budaya (BPNB) Sumatera Barat meminta ketegasan apakah sistem matrilineal, beserta adat dan budaya Minang yang dibawa orang rantau Minang ke daerah tersebut merupakan asli milik Minangkabau itu sendiri.
“Sangat sulit memperoleh penelitian komparatif antara Sumatera Barat, Rantau Kuantan, dan Negeri Sembilan karena hubungan yang sangat rumit. Menurut saya, penelitian tentang bahasa barangkali dapat menjelaskan asal usul sistem matrilienal di ketiga daerah tersebut”.
Namun, bagi Hariadi, peserta kuliah umum yang juga berasal BPNB Sumatera Barat, upaya orang Kuantan untuk menghilangkan identitas menjadi hal yang menarik. Apalagi, Prof. Dr. Tsuyoshi Kato menyatakan bahwa perubahan identitas tersebut tidak hanya terjadi pada kalangan elit saja, tetapi juga pada semua level.
“Akhir tahun 1980-an, dibagun balai pertemuan di Kuantan. Model atap balai pertemuan pada masa itu menyerupai atap Melayu. Orang kampung ikut meniru dan membangunnya di rumah-rumah mereka. Akibatnya, hal ini ikut mempengaruhi seluruh lapisan agar merasa memiliki identitas Melayu.
Persoalan identitas Minangkabau di berbagai daerah arus merantau orang Minang ini kemudian menjadi diskusi penting dalam kuliah umum mengenai sistem matrilineal di Sumatera Barat, Kuantan, dan Negeri Sembilan. Menurut Witrianto, dosen Jurusan Ilmu Sejarah FIB Unand, hari ini terdapat fenomena bahwa masyarakat di daerah “kantong adat Minang” menolak mengakui dirinya sebagai orang Minang, padahal secara bahasa, bahasa mereka memiliki persamaan dengan bahasa Minang. Bahkan, menurut Jendrius, Dosen Sosiologi, FISIP Unand, beberapa orang Minang yang masih mengakui suku Minang sebagai identitas mereka, namun sekarang berada di daerah rantau, ditemukan tidak berminat untuk kembali kembali ke daerah asal.
Bagi Prof. Dr. Tsuyoshi Kato, fenomena tersebut menjadi realitas yang harus diterima karena identitas itu bersifat subjektif. “Untuk kasus perantau Minang yang tidak mungkin pulang misalnya, mereka bisa menguatkan hubungan dengan kerabat yang masih berada di daerah asal Minangkabau meskipun mereka sendiri sudah tidak menggunakan bahasa Minangkabau lagi,” jelasnya.
Sementara itu, menjawab fenomena orang rantau yang tidak mengakui identitas Minang, bagi Prof. Dr. Tsuyoshi Kato, dapat dilakukan penelitian komparatif mengenai bahasa yang berkembang di daerah rantau dengan bahasa Minangkabau itu sendiri.